Investasi Asing adalah Sesuatu yang Haram?



http://www.ekon.go.id/berita/img/3486657549-pemerintah-buka-lima-sektor.389.jpg
Saya sering mendengar bagaimana para pengamat yang menilai bahwa Indonesia telah kembali dijajah negara asing. Salah satunya adalah dengan banyaknya investasi asing di Indonesia. Seharusnya, kata mereka, perusahaan lokal diberikan banyak ruang untuk mengembangkan ekonomi Indonesia.
Saya tentu saja sependapat dengan pemikiran si pengamat. Tapi sekaligus saya  juga mempertanyakan apakah investasi asing adalah sesuatu yang haram? Lalu mengapa dalam banyak kesempatan Presiden kita, Bapak Jokowi juga presiden sebelumnya selalu menekankan agar daerah menciptakan kondisi yang mampu menarik investor asing?

Pemimpin Daerah dan Gadis Cantik



http://www.unmotivating.com/wp-content/uploads/2015/02/Beautiful-Women-Around-The-World-042.jpg
Dalam sebuah diskusi dengan seorang pakar perkebunan di Mamuju, ia lalu menyampaikan pertanyaan yang menurut saya agak menjebak. “Apakah pemerintah pusat harus membantu Sulbar untuk bisa meningkatkan produksi perkebunan, dan harus menyediakan semua sarana produksi. Soalnya kalau bukan pemerintah pusat yang sediakan, ya siapa lagi, pak?”
Saya berpikir sejenak. Lalu tersenyum sambil merapikan rambut saya. “Well, bagi saya bantuan pusat itu adalah stimulasi ekonomi daerah. Bukan menyelesaikan semua masalah. Itu bukan senjata rahasia untuk bangun daerah”, kata saya dengan penuh kebanggaan dan menghirup kopi mamasa di atas meja saya.
Saya sangat yakin dengan pendapat itu sampai-sampai saya lupa jika saya sedang berbicara dengan seorang pakar. "Saya percaya bahwa pada akhirnya pemerintah harus mengurangi perannya, dimana masing-masing stakeholder membangun relasi yang menguntungkan", kata saya selanjutnya.
“Wah jika begitu Bapak seorang neoliberal?”, kritiknya. 
Saya kaget. Baru kali ini saya mendapatkan label seperti itu. Tapi saya menggeleng. “It’s not true brother”, kata saya sambil tersenyum.

Brasil, Neymar dan Kekuatan SDM



http://a.fssta.com/content/dam/fsdigital/fscom/Soccer/images/2016/02/01/020116-Soccer-Barcelona-Neymar-PI-JE.vresize.1200.675.high.80.jpg
Suatu kali saya ditanya mana yang lebih penting kekuatan membangun manusia atau membangun fisik. Saya sebenarnya tidak suka memilih untuk opsi-opsi ekstrim seperti ini. Saya lebih memilih cara berpikir dialektis. Namun saat menyaksikan pertandingan bola final Olimpiade yang mempertemukan Brazil dengan Jerman membuat saya benak saya memikirkan seuatu hal yang menggelitik.
Mendadak sata memikirkan sosok Neymar,  pemain bola yang sangat berbakat yang usianya jauh di bawah umur anak tertua saya. Ia baru saja menandatangai kesepakatan gaji barunya dengan Bercelona. Sebesar 15 juta Euro, atau setara Rp. 221 Milyar  setahun.
Angka yang fantastis, bukan!? Saya mencoba membandingkan angka itu dengan bantuan dana APBN untuk kegiatan perbaikan tanaman kakao yang melibatkan ribuan petani. Hampir mendekati. Artinya gaji Neymar selama setahun setara dengan bantuan pemerintah pusat untuk satu provinsi. Angka yang tidak jarang membuat para petugas dinas getar getir karena selanjutnya akan menjadi objek para pemeriksa.

Membangun Daerah, Investasi Saja Tidak Cukup



http://www.banyakbaca.com/wp-content/uploads/2016/06/kota-medan-1024x548.jpg
Banyak orang yang beranggapan dengan menarik investasi ke suatu daerah maka seluruh masalah terselesaikan. Pertumbuhan ekonomi meningkat, kemiskinan berkurang maka masyarakat menjadi sejatera.
Pertanyaannya apakah sesederhana itu?
Menurut saya tidak. Pergerakan capital ke suatu daerah tanpa adanya diikuti pergerakan SDM yang handal tidak akan menciptakan dampak ekonomi yang luas. Ini barangkali tepatnya yang  terjadi saat bantuan pemerintah pusat dialokasikan ke daerah tertinggal namun tidak memberikan dampak ekonomi yang signifikan.
Lalu ketika SDM yang handal kemudian hadir bersamaan d engan pergerakan modal, apakah serta merta akan mendorong kemajuan ekonomi daerah?  Tidak juga. Seperti halnya daerah pertambangan yang tidak serta merta menjadikan daerah maju secara ekonomi.
Ada satu hal yang menurut saya sering dilupakan adalah bagaimana membangun sistem sehingga capital yang ada dan SDM tersebut kemudian secara terus menerus mengakumulasi capital, menciptakan inovasi dan mencetak SDM.

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?



Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka itu bukan disana tapi di dalam hati Anda
Merdeka itu adalah spirit dalam jiwa Anda

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk berkerasi
Merdeka untuk menatap masa depan
Merdeka untuk berdiri di atas kaki saya sendiri

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka atas diri sendiri
Merdeka atas perasaan inferioritas
Merdeka atas kebodohan

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk  mencinta
Merdeka untuk berempati
Merdekat untuk bertindak produktif

Wahai sobat apakah Anda sudah merdeka?
Merdeka untuk mengeksplorasi diri demi nilai-nilai keutamaan
Merdeka untuk mencintai kemanusia
Merdeka untuk meninggalkan jejak yang bernilai bagi umat manusia

Jika ya
Selamat merayakan hari kemerdekaan Indonesia ke 71

Sekiranya Pabrik Kakao Seperti Sawit, Tidak Ada Krisis Kakao



https://matafajar.files.wordpress.com/2012/04/dsc00770.jpg
Saya sering beradai-andai bagaimana kalau seandainya perusahaan pengolahan kakao dikenakan aturan yang ketat seperti pada perusahaan kelapa sawit. Bagaimana kira-kira dampak akhirnya?
Ketika menyimak salah satu pasal di UU tahun no. 39 tahun 2014 yang menyebutkan jika usaha Pengolahan Hasil Perkebunan harus memenuhi sekurang-kurangnya 20% (dua puluh perseratus) dari keseluruhan bahan baku yang dibutuhkan berasal dari kebun yang diusahakan sendiri. Sayangnya aturan ini hanya berlaku untuk untuk industri kelapa sawit, tebu dan teh.
Saya coba bayangkan jika aturan in diterapkan pada pabrik kakao. Sebut saja sebuah perusahaan memiliki kapasitas produksi hingga 40.000 ton/tahun. Maka dengan hitungan sederhana maka 8.000 ton harus diperoleh dari perkebunannya sendiri. Jika setiap ha bisa diperoleh 1 ton maka perusahaan kakao tersbut harus membangun kebun kakao seluas 8000 ha.  
Apa yang terjadi jika aturan ini diterapkan pada perkebunan kakao?

Menjadikan Desa Seksi Bagi Investor



 http://cimg.antaranews.com/makassar/2011/09/ori/20110916gernaskakao160911-aco1a.jpg
Pada tulisan sebelumnya saya membahas tentang pengembangan zona pertanian untuk mencapai luas areal yang memenuhi skala ekonomi. Maka pada artikel kali ini saya mencoba membahas bagaimana langkah selanjutnya agar sebuah desa menjadi pusat pertumbuhan.
Seperti saya jelaskan untuk memilik daya tarik ekonomi sebuah desa harus memiliki sebuah komoditas yang bernilai secara bisnis. Ini tidak saja dinilai dari jenis tapi juga dari volume. Saya pernah menikmati kopi yang sangat lezat di daerah pegunungan di daerah Nusa Tenggara Barat. “Kopi ini sangat enak. Mengapa tidak dikelan di Indonesia”, komentar saya kepada seorang ketua kelompok tani.
Ia merespon sembari tersenyum. “Terlalu mahal kalau dijual keluar desa ini karena produksinya sedikit dan akses jalan ke kota juga tidak terlalu bagus. Jadi ya kopinya kami nikmati sendiri saja”.